Container Icon

cerpenku


SEBELUM AKU PERGI……

Langit malam ini tampak mendung. Seperti hati Lena yang sedang bersedih. Nggak seharusnya dia ada dalam masalah ini. Dia bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa  bagi Bian. Harusnya dia sadar kalau ikut campur dalam masalah orang lain, dia akan ikut sakit hati. Tapi hanya karena alasan Bian adalah sahabatnya, maka dia bersedia ikut dalam masalah ini.
“Len, belum tidur?” tanya Bunda membuyarkan lamunannya.
“Belum Bun,” sahut Lena singkat.
“Udah cepetan tidur, besuk biar nggak kesiangan,”. Lena pun menuruti nasihat ibunya.
³³³
“Bi, tunggu,” kata Lena sambil menghampiri Bian.
“Ada apa sih Len?” tanya Bian sewot.
“Kamu masih marah sama aku, Bi,” kata Lena pelan. Bian hanya terdiam.
“Jawab dong, Bi,”
Bian menghela napas sejenak dan berkata, “Aku yakin kamu tahu jawabannya, Len.” Bian pun meninggalkan Lena yang terpaku sendirian.
“Apa kesalahanku terlalu besar, Bi,” kata Lena dalam hati. Hiruk pikuk suasana sekolah ini tak membuat hati Lena merasakan keramaian. Hanya kegelisahan yang Lena rasakan saat ini. Dia harus melakukan suatu cara agar kesalahannya termaafkan oleh Bian. Sebelum dia pergi.
³³³
Suasana sekolah telah sepi, murid-murid SMA PERMATA HATI telah meninggalkan sekolahnya dari tadi. Namun, tidak dengan Lena. Dia masih menyelesaikan tugasnya sehingga dia belum beranjak pulang. Tiba-tiba seseorang menghampirinya, itu Amel, pacar Bian.
“Len, aku mau ngomong sama kamu,” kata Amel.
“Ngomong aja,” jawab Lena santai.
“Aku serius Len,”. Lena pun memandang heran Amel.
“Soal apa Mel?”
“Soal Bian, aku sebenarnya cuma pengen bilang ke kamu untuk sementara ini kamu jangan ganggu Bian ya. Ehm.. aku nggak bermaksud ikut campur masalah kalian. Tapi tadi Bian bilang ke aku kalau dia kesal banget sama kamu. Dan aku berpikir sebaiknya kamu agak menjauh dulu dari Bian.biar Bian tenang dulu.”
Lena terkejut dengan kata-kata Amel. “Tapi Bian itu sahabatku Mel, aku kenal dia dari kecil. Nggak mungkin aku ngejauhin dia.”
“Aku tahu Len, tapi ini masalah pribadi Bian, Len. Aku mohon kamu jangan terlalu ikut campur. Apa kamu nggak kasihan sama Bian. Dia sudah menderita akibat masalah ini.”
Lena terdiam. Kata-kata Amel benar. “Kamu benar Mel, nggak seharusnya aku ikut campur masalah ini. Ini urusan keluarga Bian. Urusan Bian, bukan aku. Tapi aku mohon sama kamu Mel, sampaikan maaf aku ke Bian. Aku pun pasrah jika apa yang telah ku lakukan tak termaafkan.”
³³³
Sore itu, Lena pergi ke rumah Bian. Tapi dia tidak berniat untuk bertemu Bian. Dia akan menemui  Tito, saudara tiri Bian. Sesampainya disana, Lena bersyukur tidak harus bertemu Bian. Tetapi dirinya langsung bertemu Tito. Lena pun mengajak Tito pergi ke taman.
“Len, maksud kamu ngajak kesini apa?” tanya Tito penasaran.
“Gini Tit, aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Ini tentang Bian. Ehm sebenarnya…”
“Sebenarnya apa? Jangan kamu buat aku bingung Len.”
“Gini Tit, sebenarnya Bian itu nggak setuju dengan pernikahan ayahnya dan ibu kamu. Bian berpendapat bahwa nggak ada satu orang wanita pun yang bisa gantiin almarhum ibunya.”
“Apa? Kamu beneran Len. Tapi…” Tito tampak terkejut.
“Tapi Bian bersikap biasa gitu maksud kamu,”. Tito hanya mengangguk.
“Bian bersikap seperti itu hanya untuk menjaga perasaan ayahnya saja. Sebenarnya Bian sangat tersiksa. Bathinnya menolak tapi dia tak pernah bisa untuk mewujudkan keinginannya. Dan dia cerita ke aku. Semuanya. Dan bodohnya aku membuat kesalahan. Aku berjanji kepada Bian untuk membantunya. Berbicara dengan ayahnya. Tapi setelah berbicara dengan Om Danu, aku jadi membela om Danu. Karena aku tahu semua ini untuk kebaikan Bian juga. Tapi Bian salah paham dan akhirnya dia marah sama aku.”
Tito diam sejenak dan coba untuk mengerti. Meski kenyataan terasa mengejutkan baginya. Tapi dia tetap berusaha menerimanya. Dan dirinya juga merasa bersalah. Dia merasa bahagia atas pernikahan ayah Bian dengan ibunya. Sementara Bian menderita. Dirinya tidak suka jika harus bahagia di atas penderitaan orang lain.
“Bantu aku ya, To, aku nggak tahu harus minta bantuan siapa lagi. Apalagi tadi Amel sudah memperingatkan aku agar menjauhi Bian. Tapi aku nggak sanggup, aku sudah kenal Bian dari kecil. Nggak mungkin aku jauhin dia.”
“Apa yang bisa aku bantu Len?”
“Aku pengen kamu ngomong sama Bian dari hati. Mungkin hal itu yang bisa buat Bian ngakuin tentang perasaannya.”
“Baiklah Len, aku akan coba.”
Lena dan Tito pun memutuskan untuk kembali pulang. Sampai di rumah Tito, mereka bertemu dengan Bian dan Amel. Tampaknya Bian tidak suka dengan kehadiran Lena.
“Mau apa kamu kesini Len?” tanya Bian ketus.
“Nggak ada apa-apa kok. Aku cuma pengen ketemu Tito aja,” jawab Lena sabar. Sementara Amel hanya memandang Lena dengan pandangan sinis. Lena yang merasakan suasana yang tidak nyaman ini, cepat-cepat meminta  pamit untuk pulang . Lena pun pulang ke rumahnya dengan wajah lesu.
³³³
“Lena…” panggil Bian ketika dia melihat sosok Lena melintas di depannya. Lena yang tengah berjalan bersama teman-temannya berhenti dan berbalik memandang Bian.
“Ada apa Bi?” tanya Lena setelah Bian menghampirinya.
“Aku minta kamu berhenti ikut campur urusan aku,” bentak Bian. Lena sangat terkejut. Dia benar-benar tak mengerti dengan apa yang dikatakan Bian.
“Maksud kamu?”
“Jangan pura-pura nggak ngerti. Apa maksud kamu cerita tentang aku ke Tito. Itu bukan urusan kamu.”
Lena pun mengerti. Bian marah lagi padanya. Sifat Bian yang tertutup memang kadang sulit dipahaminya. Dia telah lama mengenal Bian. Tapi kadang dia merasa seperti tak mengenal Bian. Tak lama  kemudian Amel datang menghampiri mereka.
“Ada apa Bi?” tanya Amel. Bian hanya diam menahan amarahnya. Sementara Lena tak mampu berkata apa pun, hanya airmata yang keluar dari pipinya. Dirinya terlalu takut pada kemarahan Bian.
“Tanya aja sama Lena,” kata Bian ketus.
Amel memandang Lena. Amel pun mengerti, Bian sedang marah pada Lena. Amel pun mengajak Bian pergi dari tempat itu. Meninggalkan Lena yang menangis sendirian. Sementara itu teman-teman Lena hanya diam menyaksikan peristiwa ini. Mereka hanya bisa menghibur Lena.
³³³
Bel tanda pulang pun berbunyi, Bian pun beranjak pergi. Namun, ketika akan meninggalkan kelas, Bian heran melihat teman-teman akrab Lena berebut menyalami Lena. Bahkan mereka pun saling berpelukan. Seperti sebuah perpisahan. “ada-ada saja,” bathin Bian.
Bian menghabiskan waktu sore harinya dirumah. Hari ini dia tak ada janji dengan siapa pun. Tito yang melihat Bian duduk santai di ruang keluarga mengahampirinya .
“Nggak keluar Bi? Tumben ada di rumah?” tanya Tito.
“Males,” jawab Bian singkat.
“Bi, aku mau ngomong sama kamu,”
“Ngomong aja,” jawab Bian santai.
“Gini Bi, soal kemarin. Aku tahu hari ini kamu marah dengan Lena. Tadi Lena cerita ke aku. Dan kamu nyalahin Lena. Tapi Bi, Lena nggak salah, dia cuma  pengen yang terbaik buat kamu. Mungkin caranya aja yang salah. Yang jelas, menurut aku. Lena itu sayang banget sama kamu. Dan dia nggak pengen kamu terluka.”
“Alah, nggak mungkin.”
“Percayalah Bi. Kalau dia nggak sayang sama kamu, kenapa dia mau membantu kamu. Bahkan tetap membantu kamu meski kamu marah sama dia. Cobalah untuk berdamai dengan hati sendiri Bi. Coba kamu rasakan apa yang terjadi ini dengan hati Bi. Karena dengan begitu kamu akan dapat menilai apa yang terjadi sesungguhnya.”
Bian diam tapi hatinya membenarkan kata-kata Tito.
“Kamu sama dengan aku Bi,” Tito melanjutkan kata-katanya. “Aku pun sama awalnya. Tak pernah menerima adanya pernikahan ayahmu dan ibuku. Tapi kemudian aku berpikir, jika hal ini yang terbaik bagi ibuku. Dan bisa membuat beliau bahagia. Kenapa nggak aku terima aja. Toh, ibu menikah juga karena beliau ingin aku bahagia. Ayahmu tentu sama dengan ibuku. Cobalah kamu berdamai dengan hatimu Bi. Dan janganlah selalu kamu dikendalikan oleh amarahmu.”
Bian merenung. Kata-kata Tito merasuk ke dalam hatinya. Dan dia sadar, dia harus minta maaf pada Lena. Dia kemudian mencoba menghubungi Lena lewat handphonenya. Tapi handphone Lena tidak aktif. Ketika menelpon ke ruah Lena pun. Tak ada yang mengangkatnya. Bian ingin pergi ke rumah Lena. Tetapi hujan turun dengan derasnya. Akhirnya Bian mengurungkan niatnya.
³³³
“Indah…” panggil Bian pada salah satu teman akrab Lena. Indah menoleh.
“Ada apa Bi?”
“Kamu tahu nggak kemana Lena hari ini, kok nggak keliatan ya?” tanya Bian.
Indah mengerutkan dahi.”Kamu belum tahu ya Bi?”
“Tahu apa?” Bian heran.
“Kan Lena udah pindah sekolah Bi, dia pindah mengikuti tugas ayahnya.”
Mendengar kata-kata Indah, Bian shock. Lena tidak pernah menceritakan hal ini padanya. Apa mungkin karena dia menjauhi Lena sehingga Lena pun enggan bercerita padanya. Tiba-tiba, Vivi, teman Lena yang lain menghampiri mereka.
“Kebetulan Bi, ketemu kamu kesini, ini ada titipan dari Lena, katanya ini surat buat kamu.” Kata Vivi seraya menyerahkan surat itu. Bian pun membuka surat itu.
Maaf, tanpa permisi aku masuk dalam hidupmu
Maaf, tanpa ku sangka kau terluka
Maaf, tanpa kuinginkan aku telah salah
Maaf, aku tak sempurna untukmu
Maaf, karena ku telah mengenalmu
Dan menjadi sahabat yang menyakitimu
Aku tak pantas disebut sahabatmu
Aku tak memahamimu
Menbuatmu terus tersiksa
Aku menyayangimu
Takkan ingin melukaimu
Namun semua telah terjadi
Maaf…..
Tapi izinkan aku  berbicara
Lewat layang ini aku sampaikan
Kata maaf dan sebuah kata
Berdamailah dengan hatimu
Agar kau mengerti dan bahagia
Hanya ini yang mampu aku tulis
Sebelum aku pergi….(Lena)
“Seharusnya aku menyadari ini jauh sebelumnya, aku takkan pernah kehilanganmu. Aku juga sayang kamu Lena. Dan maafkan aku juga telah melukai hatimu. Aku terlalu mengikuti egoku. Hingga kau tersakiti. Maafkan aku Lena,” sesal Bian dalam hati.
Sejak saat itu Bian mulai menata hidupnya. Dia mulai bahagia dengan keluarga barunya. Namun, hingga saat ini dia tak tahu dimana Lena, sahabatnya. Bian berjanji jika dia bertemu dengan Lena kembali, dia akan meminta maaf padanya dan tunjukkan pada Lena. Bahwa dia telah bahagia. Seperti pesan Lena sebelum dia pergi…

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comment:

Posting Komentar